14 September 2024

Dijuluki Negeri Tempe, Kedelai Masih Impor

Oleh: Salwa Khairunnisa

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Agribisnis Fakultas Sains.

salwa.khairunnisa21@mhs.uinjkt.ac.id || (+62) 851 5828 3288

 

Bung Karno menegaskan dalam pidatonya, bahwa jangan pernah menjadi bangsa tempe. Ucapannya itu bukan dimaksudkan untuk merendahkan makanan rakyat tersebut, melainkan karena tak ingin menjadi bangsa terjajah.

Meski sangat bergizi, tempe tercipta ketika Indonesia masih menjadi negeri jajahan. Yaitu ketika kebanyakan rakyat tidak mampu menyediakan sumber protein terutama yang berasal dari produk hewani, tempe menjadi salah satu alternatif sumber protein yang berasal dari produk nabati.

Tempe memang makanan rakyat. Hampir semua kalangan menyukai, termasuk presiden. Bung Karno dan Pak Harto pun diketahui menggemari makanan yang dibuat dari fermentasi kedelai tersebut. Selain tempe, kedelai juga merupakan bahan dasar pembuatan tahu.

Bukti begitu merakyatnya makanan ini, terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Statista, rata-rata setiap penduduk Indonesia pada tahun 2021 mengonsumsi 0,146 kg tempe dalam sepekan. Angka ini naik 0,02% dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 0,140 kg. Namun konsumsi diperkirakan meningkat mulai 2022 hingga 2029.

Dalam Outlook Kedelai 2020, Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi kedelai disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat. Resesi ekonomi menyebabkan penurunan kemampuan masyarakat untuk membeli protein hewani. Alhasil tempe menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein. Selain itu, peningkatan konsumsi kedelai diprediksi karena masyarakat menengah ke atas makin banyak yang menerapkan gaya hidup vegan. Mereka lebih mengutamakan menu makanan dari sayur dan buah-buahan.

Meski makanan rakyat, ironinya bahan baku tempe adalah produk diimpor. Data Kementerian Pertanian menyebutkan sekitar 86,4% kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor. Hingga 2021, BPS mencatat impor kedelai sebesar 2,49 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1,48 miliar atau setara Rp21,1 triliun dengan kurs Rp14.300.

Kementerian Pertanian mengeklaim, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu menutupi tak sampai 10% dari total kebutuhan nasional pada 2022. Dalam Data Prognosa Neraca Komoditas Pangan Strategis Kementerian Pertanian, pemerintah memproyeksikan produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 200.315 ton. Sementara kebutuhan kedelai dalam negeri diperkirakan mencapai 2.983.511 ton pada tahun ini.

Itu artinya, produksi kedelai dalam negeri tahun ini diperkirakan hanya sekitar 6,8 persen dari kebutuhan nasional. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengakui bahwa keran impor perlu dibuka. Dari segi kuantitas, impor kedelai akan menjadi impor terbesar dibandingkan komoditas-komoditas pangan strategis lain yang juga diperkirakan butuh impor.

Menurut data BPS tahun 2021 ada lima negara importir yang menjadi langganan dalam memasok kedelai ke Indonesia. Dari total impor yang mencapai 2,49 juta ton, negara Amerika Serikat merupakan importir kedelai terbesar ke Indonesia. Pada tahun 2021 total impor kedelai dari Amerika Serikat tersebut sebesar 2,15 juta ton dengan nilai mencapai USD1,29 miliar atau sekitar Rp18,4 triliun.

Urutan kedua ada negara Kanada, dimana negara tersebut melakukan impor kedelai ke Indonesia sebesar 232 ribu ton dengan nilai mencapai USD135,8 juta atau sekitar Rp1,9 triliun.

Diurutan ketiga yaitu negara Argentina, dimana negara tersebut melakukan impor kedelai mencapai USD52,08 juta dengan volume sebesar 89,95 ribu ton atau sekitar Rp744 miliar.

Sementara di urutan keempat ada negara Brazil, dimana negara tersebut melakukan impor kedelai sebanyak 9,2 ribu ton dengan nilai mencapai USD5,34 juta atau sekitar Rp76 miliar.

Dan diurutan terakhir adalah negara Malaysia yang mengimpor kedelai mencapai USD2,46 juta atau sekitar Rp35,1 miliar dengan volume mencapai 5,5 ribu ton.

Ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai. Pertama, produksi dalam negeri yang rendah. Bahan dalam satu dekade terakhir, produksi kedelai nasional cenderung turun dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,2 ribu ton pada 2019. Salah satu penyebabnya adalah luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu ha pada 2010 menjadi 285,3 ribu ha pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian.

Kedua, kurang berminatnya produsen tempe terhadap kedelai lokal. Hal itu disebabkan karena kedelai lokal mempunya ukuran yang kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari pada kedelai lokal sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses pergaiannya pun lebih lama. Kemudiaan saat sudah berbentuk tempe, proses pengukusannya membutuhkan waktu yang lebih lama dan bahkan bisa kurang empuk dibanding tempe yang berbahan baku kedelai impor.

Ketiga, petani menganggap budi daya kedelai tidak menguntungkan. Berdasarkan data BPS, harga produksi kedelai di tingkat petani rata-rata sebesar Rp 8.248 per kg. Namun ketika dijual ke konsumen hanya sekitar Rp 10.415 per kg. Artinya, keuntungan yang diterima petani dinilai terlalu rendah dengan masa tanam berkisar tiga sampai empat bulan. Hal ini jauh di bawah keuntungan menanam padi dan jagung, sehingga petani lebih memilih komoditas yang untungnya lebih tinggi.

Kemudian penyebab yang terakhir yaitu tingginya ketergantungan para pengrajin tempe terhadap bahan baku impor dapat menyebabkan harga tempe tak stabil. Sebagaimana barang impor yang terpengaruh fluktuasi nilai tukar. Sejumlah perajin mengantisipasi tingginya harga bahan baku dengan menaikkan harga atau mengecilkan volume tempe yang mereka produksi.

Sejak 2021, harga kedelai di pasar tradisional merangkak naik dari Rp10.863 hingga mencapai Rp12.300 per kilogram pada Februari 2022. Kenaikan harga dipicu terbatasnya pasokan kedelai dunia menyusul gagal panen di beberapa negara penghasil seperti Brazil, tren penggunaan minyak goreng dari kedelai sebagai alternatif kelapa sawit, serta meningkatnya permintaan dari Tiongkok sebagai importir terbesar.

Untuk mengatasi kenaikan harga kedelai impor, Presiden Joko Widodo meminta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk menggenjot produksi kedelai lokal. Termasuk dengan menyiapkan untuk dijadikan sentra produksi kedelai. Menurut beliau, langkah tersebut merupakan satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar Indonesia bisa swasembada kedelai.

“Kita harus bangun di lahan yang sangat luas. Jangan hanya 10 ha atau 100 ha, tapi 500 ribu atau 1 juta ha. Cari,” kata Jokowi dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta pada 11 Januari 2021.

Selain memperluas lahan tanam kedelai, Pemerintah juga telah menyiapkan beberapa strategi lainnya untuk menjaga ketersediaan kedelai di dalam negeri, baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang, diantaranya diversifikasi sumber kedelai impor, pemberian subsidi pada transportasi kedelai, penerbitan larangan terbatas importasi kedelai, dan penugasan khusus pada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menyerap kedelai petani lokal dengan harga khusus.(*).

Loading

Bagikan:

Berita Terkait

error: