
Aku nggak tahu kapan persisnya, tapi di telingaku, kata “Kyuris” mulai sering kedengeran di warung, kasir minimarket, sampai di kantor. Padahal yang dimaksud adalah QRIS—sistem pembayaran digital yang sebenarnya dibaca “Kris”. Dari awal aku tahu namanya, aku pikir itu hal sepele. Toh semua orang pasti paham maksudnya meskipun salah sebut. Tapi lama-lama, aku jadi mikir, kok ya salah sebut ini bisa sampai mendarah daging?
Jujur aja, aku bukan orang yang terlalu perfeksionis sama bahasa. Tapi kalau nama resmi yang jelas-jelas sudah dikasih tahu malah diubah seenaknya, rasanya agak menggelitik. QRIS itu singkatan dari Quick Response Code Indonesian Standard. Dari situ, huruf Q-R-I-S dipendekin jadi “Kris” supaya gampang disebut. Lalu entah dari mana datangnya, orang-orang mulai memanggilnya “Kyuris” seolah itu nama produk mie instan baru.
Salah Sebut yang Jadi Trend
Fenomena salah sebut ini lucu, tapi juga bikin miris. Lucunya karena kadang kasir minimarket bisa bilang, “Bisa bayar pake Kyuris, Kak?” sambil senyum lebar, dan kita pun nggak akan salah paham. Kita ngerti maksudnya. Tapi mirisnya, ini contoh nyata bagaimana informasi yang benar bisa kalah sama kebiasaan yang salah.
Bayangin, QRIS ini kan program nasional. Sosialisasinya masif, dari iklan TV sampai banner di warung kopi. Tapi yang nyangkut di kepala masyarakat malah versinya yang keliru. Ini bukti bahwa kebiasaan lisan bisa lebih kuat dari edukasi formal.
Kenapa Bisa Salah?
Kalau kupikir-pikir, salah sebut ini muncul karena dua hal. Pertama, lidah kita yang terbiasa melafalkan huruf satu per satu. Jadi Q-R-I-S dibaca sesuai ejaan, bukan sebagai kata utuh “Kris”. Kedua, kurangnya penekanan dari pihak yang memperkenalkan QRIS. Iklan dan materi promosi jarang banget secara tegas bilang “Dibaca Kris, ya!”
Akibatnya, orang mengandalkan persepsi masing-masing. Begitu ada satu orang yang bilang “Kyuris” dan semua paham maksudnya, langsunglah itu jadi standar baru. Dan anehnya, yang benar malah terdengar asing di telinga.
Efeknya ke Brand dan Edukasi Digital
Buat sebagian orang, salah sebut ini mungkin nggak penting. “Yang penting ngerti maksudnya,” kata mereka. Tapi buatku, ini masalah citra dan konsistensi. Bayangin kalau orang luar negeri belajar tentang sistem pembayaran digital Indonesia, terus mereka dengarnya “Kyuris”. Mereka bisa bingung, “Ini QRIS atau produk lain?”
Brand, apalagi yang berskala nasional, harus dijaga konsistensinya. Kalau kita biarin nama resmi diucapkan macam-macam, itu sama aja kita biarin pesan utama jadi blur. Sama seperti kalau kita manggil Google jadi “Gugel” atau “Gogol”—orang paham maksudnya, tapi secara branding, itu bikin melemahkan citra asli.
Jujur, aku sering ketawa kalau dengar orang salah sebut QRIS. Apalagi kalau di warung kopi ada yang bilang, “Mas, bayar Kyuris aja ya,” sambil nunjuk HP. Rasanya pengen banget nyelutuk, “Mas, itu Kris, bukan Kyuris.” Tapi ya… kita hidup di negara yang santai. Salah sebut pun bisa jadi bahasa gaul baru.
Masalahnya, kalau kebiasaan ini dibiarkan, nanti generasi berikutnya malah tahunya nama resminya memang “Kyuris”. Dan begitu kebiasaan itu terbentuk lintas generasi, mengubahnya akan jauh lebih susah.
Perubahan bisa dimulai dari kita sendiri. Kalau bayar pakai QRIS, biasakan bilang “Kris” dengan benar. Kalau ada yang salah sebut, koreksi dengan nada bercanda biar nggak terkesan menggurui. Media juga perlu ikut ambil peran. Bayangin kalau iklan-iklan QRIS mulai pakai tagline, “QRIS, dibaca Kris.” Sesimpel itu aja bisa pelan-pelan ngubah kebiasaan masyarakat.
Aku juga berharap kasir-kasir di minimarket atau pegawai warung bisa ikut dilatih. Soalnya mereka ini ujung tombak interaksi langsung. Kalau dari mereka yang sering bilang “Kris” dengan benar, lama-lama konsumen juga akan ikut. Buatku, nama itu bagian dari identitas, bahkan untuk hal teknis seperti sistem pembayaran. Salah sebut boleh aja kalau cuma bercanda, tapi kalau udah jadi kebiasaan nasional, itu perlu diluruskan. QRIS itu dibaca “Kris”, dan aku rasa kita harus mulai membiasakan yang benar.
Biar nanti, kalau kita bayar di warung, kasir nggak lagi bilang, “Kyuris atau cash, Kak?” tapi gantinya, “Kris atau cash, Kak?” Dengan begitu, program digital nasional ini nggak cuma sukses secara teknologi, tapi juga sukses mempertahankan identitas namanya.
Penulis: Arifa Maulani Tadira
Institut Agama Islam SEBI
![]()
