JAKARTA bekasitoday.com– Universitas Paramadina bersama Universitas Diponegoro, LP3ES, KITLV Leiden, dan INDEF kembali menyelenggarakan Sekolah Demokrasi Angkatan VIII bertema “Mencegah Keruntuhan Institusi dan Membangun Kembali Demokrasi.” Program tahunan ini berlangsung selama dua hari, 28–29 November 2025, dan digelar di dua lokasi: Kampus Paramadina Kuningan dan Paramadina Cipayung.
Kegiatan dibuka dengan sambutan Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Suharnomo, yang menegaskan bahwa demokrasi Indonesia tengah berada pada fase yang sangat krusial. Ia menyoroti gejala melemahnya lembaga pengawasan serta menyusutnya ruang kebebasan sipil sebagai ancaman serius bagi masa depan demokrasi.
“Demokrasi tidak cukup hanya mengandalkan prosedur seperti pemilu atau pergantian kepemimpinan. Kita membutuhkan institusi yang kokoh untuk menjaga legitimasi politik dan ruang publik tetap sehat, “ujarnya. Ia menambahkan bahwa rapuhnya institusi demokrasi akan berdampak langsung pada keberlanjutan kebijakan publik dan stabilitas bangsa.
Dari Universitas Paramadina, Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya, Dr. Handi Risza Idris, mengangkat dilema klasik soal hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi. Menurutnya, pengalaman Indonesia berbeda dengan negara-negara Eropa yang lebih dulu memperkuat ekonomi sebelum demokrasi tumbuh.
“Reformasi 1998 menjadikan demokrasi dan pembangunan ekonomi tumbuh beriringan, sering kali bahkan saling dipertentangkan, “katanya. Namun ia menegaskan bahwa perdebatan itu kini tidak lagi relevan. “Demokrasi dan ekonomi bukan dua kutub yang harus dipilih. Keduanya adalah pilar yang saling memperkuat dalam menghadirkan kesejahteraan, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.”
Di sesi selanjutnya, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memaparkan dinamika pemberantasan korupsi selama lebih dari dua dekade. Ia menyebut KPK sebagai simbol tekad bangsa dalam melawan korupsi, serta menggambarkan perjalanan lembaga itu dalam tiga fase: era Gus Dur, era SBY, dan era Jokowi.
Menurutnya, periode 2007–2019 menjadi fase paling progresif dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun revisi UU KPK pada 2019 disebut sebagai titik balik yang melemahkan independensi lembaga tersebut.
“Sejak revisi itu, ruang gerak KPK semakin terbatasi oleh struktur politik dan administratif, “ungkapnya. Wijayanto menilai kondisi ini bukan hanya melemahkan lembaga antirasuah, tetapi juga memukul struktur demokrasi secara keseluruhan.
Ia juga mengkritisi fenomena dramatisasi kerugian negara dalam sejumlah kasus hukum. Menurutnya, perhitungan kerugian harus berbasis nilai faktual dan tidak dibesar-besarkan. Ia mencontohkan kasus pengadaan kapal ASDP yang dianggap ‘besi tua’, padahal memiliki nilai investasi strategis.
Melihat berbagai tantangan tersebut, ia menilai pemerintahan Presiden Prabowo masih memikul tugas besar: mengembalikan independensi KPK, memperbaiki regulasi administratif, menghentikan dramatisasi kasus, dan menyusun standar penghitungan kerugian negara yang lebih ilmiah.
“Pemberantasan korupsi bukan soal menciptakan sensasi di media sosial. Ini tentang membangun kepercayaan publik dan memperkuat demokrasi, “tegasnya.
Sementara itu, Redaktur Penerbitan LP3ES, Malik Ruslan, mengingatkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga masalah budaya politik dan moral publik. Ia menyoroti praktik sosial seperti budaya pemberian, patronase, dan norma permisif yang membuat korupsi terus berlangsung meski regulasi diperketat.
“Setangguh apa pun sistemnya, ia akan runtuh jika manusianya tidak berubah. Pendidikan moral, budaya transparansi, dan kritik publik harus berjalan seiring, “ujarnya.
Melalui rangkaian diskusi selama dua hari, para akademisi dan praktisi yang hadir menekankan pentingnya literasi demokrasi, penguatan institusi, serta transformasi budaya politik sebagai fondasi utama untuk menjaga keberlanjutan demokrasi Indonesia di tengah tantangan zaman.(Nr).
![]()
