
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kemudahan akses hiburan instan, minat baca di kalangan generasi muda tampak semakin menurun. Buku, yang dulu menjadi jendela dunia, kini kalah bersaing dengan layar ponsel dan video berdurasi singkat. Padahal, budaya membaca bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan fondasi bagi lahirnya masyarakat yang kritis dan berdaya saing.
Fenomena ini bukan hal baru. Di banyak survei nasional maupun internasional, Indonesia kerap menempati posisi rendah dalam hal literasi. Misalnya, survei PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia masih jauh di bawah rata-rata negara lain. Namun yang patut menjadi perhatian bukan hanya datanya, tetapi bagaimana kita meresponsnya.
Pertanyaannya: siapa yang harus bertanggung jawab atas pudarnya budaya baca ini?
Tentu tidak adil jika seluruh kesalahan ditimpakan kepada generasi muda. Di era digital seperti sekarang, mereka tumbuh dalam lingkungan yang menawarkan berbagai distraksi: dari game online, media sosial, hingga konten-konten visual yang begitu menggoda. Maka, penting untuk melihat masalah ini secara lebih luas: sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.
Keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam membentuk kebiasaan anak. Orang tua yang sering membaca, baik buku fisik maupun e-book, secara tidak langsung menanamkan nilai bahwa membaca adalah kegiatan yang penting dan menyenangkan. Anak-anak akan meniru, bukan hanya mendengar nasihat. Sayangnya, masih banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah, tanpa menyadari bahwa lingkungan rumah punya pengaruh yang jauh lebih besar.
Sekolah pun memiliki peran penting. Sayangnya, di banyak tempat, kegiatan membaca masih dianggap sebagai beban, bukan kebutuhan. Tugas meresensi buku hanya jadi formalitas, bukan bagian dari upaya menumbuhkan minat baca. Padahal, guru bisa lebih kreatif dalam mengenalkan buku dengan diskusi ringan, pojok baca yang menarik, atau kegiatan bedah buku yang interaktif.
Pemerintah juga tidak bisa lepas tangan. Kebijakan yang mendukung literasi harus dibarengi dengan tindakan nyata, seperti pemerataan akses buku berkualitas, pembangunan perpustakaan yang ramah anak dan remaja, serta pelatihan guru untuk mengelola program literasi yang menyenangkan.
Namun, di atas semua itu, kita sebagai masyarakat pun perlu berubah. Kita harus berhenti menganggap membaca sebagai kegiatan kuno atau membosankan. Literasi adalah alat perlawanan terhadap kebodohan, hoaks, dan manipulasi informasi. Di tengah banjir konten yang begitu cepat, hanya mereka yang punya daya literasi tinggi yang bisa bertahan dan berpikir kritis.
Membangun budaya baca memang tidak mudah, apalagi di tengah dunia yang serba instan. Tapi bukan berarti mustahil. Semua bisa dimulai dari hal kecil: membaca 10 menit sebelum tidur, membawa buku saat bepergian, atau saling merekomendasikan bacaan yang menarik. Jika setiap orang mulai dari diri sendiri, maka perlahan, budaya baca bisa hidup kembali.
Penulis: Zunaizah
Mahasiswi IAI SEBI
![]()
