JAKARTA bekasitoday.com– Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pengawasan terhadap penerapan sistem merit dalam tubuh Aparatur Sipil Negara (ASN) harus dilakukan oleh lembaga yang benar-benar independen. Hal ini dituangkan dalam Putusan Nomor 121/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 7 Oktober 2024 dan mulai berlaku sejak saat itu.
Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang tidak dimaknai bahwa pengawasan dilakukan oleh lembaga yang bebas dari intervensi politik dan kekuasaan eksekutif.
MK memberikan waktu paling lama dua tahun kepada Pemerintah dan DPR untuk membentuk lembaga pengawas ASN yang independen. Selama masa transisi, norma pengawasan dalam UU ASN tetap berlaku, namun harus dimaknai sesuai tafsir MK, yakni dilakukan secara independen dan bebas intervensi.
Menanggapi putusan tersebut, praktisi hukum IGN Agung Y. Endrawan, SH, MH, CCFA, yang juga mantan Asisten Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), menyebutnya sebagai momentum penting untuk meluruskan arah reformasi birokrasi. Ia menekankan bahwa sistem merit tidak akan berjalan efektif jika pengawasan dilakukan oleh lembaga yang berada di bawah kekuasaan.
“Putusan MK ini menegaskan kembali esensi pembentukan KASN dahulu, yakni menjaga netralitas dan profesionalitas ASN melalui lembaga yang tidak bisa diintervensi. Bila pengawasan tetap dilakukan oleh lembaga non-independen, maka sistem merit hanya menjadi slogan administratif tanpa makna substantif, “ujar Agung.
Dalam pandangan hukumnya, Agung menyatakan bahwa pasca putusan MK, Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak lagi memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan sistem merit karena tidak memenuhi prinsip independensi. Ia menegaskan bahwa BKN hanya boleh menjalankan fungsi administratif dan pembinaan teknis kepegawaian.
Merujuk pada Pasal 47 UU MK, Agung menjelaskan bahwa putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan bersifat erga omnes serta self-executing. Artinya, semua lembaga negara, termasuk BKN, KemenPAN-RB, dan instansi pembina ASN lainnya, wajib mematuhi tafsir baru tersebut tanpa menunggu revisi undang-undang.
Agung juga mengingatkan bahwa selama masa transisi, pemerintah tetap dapat menjalankan fungsi teknis kepegawaian agar tidak terjadi kekosongan hukum. Namun, jika pengawasan tetap dilakukan oleh lembaga non-independen, hal itu berpotensi menimbulkan sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kalau pengawasan tetap dilakukan oleh lembaga yang secara hukum sudah dinyatakan tidak memenuhi prinsip independensi, maka keputusan yang dihasilkan bisa batal demi hukum. Karena itu, DPR dan Pemerintah harus segera menindaklanjuti perintah konstitusional untuk membentuk lembaga baru paling lambat dua tahun, “imbuhnya.
Lebih jauh, Agung menekankan bahwa putusan MK ini bukan sekadar koreksi kelembagaan, tetapi juga koreksi moral dan politik terhadap sistem birokrasi nasional. Ia berharap agar lembaga pengawas ASN yang baru nanti benar-benar dibangun dengan arsitektur kelembagaan yang menjamin independensi, penguatan struktural, fungsional, dan anggaran, serta berbasis teknologi informasi.
“Yang dibutuhkan bukan rebranding, tetapi rekonstruksi kelembagaan. Lembaga pengawas ASN yang baru harus berdiri setara, bukan di bawah kementerian. Kalau tidak, semangat reformasi birokrasi yang kita perjuangkan selama ini akan tereduksi, “pungkas Agung.(Nr).
![]()
